INIHANTU - MISTERI KOMPLEK MEGALITIK BATU GAJAH DISIMALUNGUN

MISTERI KOMPLEK MEGALITIK BATU GAJAH DISIMALUNGUN

INIHANTU | MISTERI KOMPLEK MEGALITIK BATU GAJAH DISIMALUNGUN |Tiga Dolok tepatnya terletak di Dusun Pematang Desa Negeri Dolok Kecamatan Dolok Panribuan Kabupaten Simalungun Propinsi Sumatera Utara, adalah salah satu Cagar Alam di Kabupaten Simalungun yang dikenal sangat keramat.

Konon tempat ini dulunya adalah tanah larangan dan keramat (angker) oleh Raja-raja Simalungun merupakan tempat beribadah bagi para umat pemeluk agama Hindu yang berasal dari India. Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda ditetapkan sebagai daerah larangan atau Natuurmonument pada tahun 1924, surat bersertifikat Zelfbestuur Besluit 1924 No. 24 tanggal 16 April 1924.

Pada sertifikat tersebut menerangkan luas area 0,80 ha menetapkan daerah tersebut menjadi pusat Cagar Alam. Saat ini Batu Gajah menjadi wilayah kerja Seksi Wilayah Konservasi II Rantau Prapat, Balai KSDA Sumatera Utara II.

Kutukan luapan amarah

“Jika kamu menjaga anak lelaki dan perempuanku, maka mereka tidak akan membuat noda. Tetapi karena kamu tidak menjaga anak-anakku maka akhirnya aku tak punya anak. Oleh karena itu jika pintu air ini berair, maka kamu akan diinjak gajah, dimakan harimau, digigit ular, dan binatang piaraanmu akan hilang dicuri!”. Penggalan kutukan tersebut merupakan luapan amarah Puang Siboro kepada Jadi Raja, penguasa Dolok Panribuan yang tidak mampu mencegah incest antara kedua anak kembar Puang Siboro.

Kisah Puang Siboro begitu populer di kalangan masyarakat yang tinggal di sekitar Kompleks Megalitik Batu Gajah, Desa Negeri Dolok, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Jika diperhatikan dengan seksama figur-figur binatang “eksekutor kutukan” itu, semuanya dipahatkan di teras tertentu Kompleks Megalitik Batu Gajah.

Fikur hewan pembawa kutukan

Ketiga figur hewan pembawa kutukan tersebut tidak ada yang menempati Teras III. Teras tertinggi yang diasosiasikan sebagai tempat suci (banua ginjang). Melainkan di Teras I dan Teras II, yang merupakan tempat kejahatan masih beredar dalam kehidupan manusia di dunia fana (banua toru dan banua tonga). Figur ular dan gajah masing-masing menempati Gundukan 1 dan Gundukan 2 Teras I. Sementara figur harimau menempati Teras II. Di Teras III atau yang tertinggi merupakan tempat khusus dengan pahatan patung kerbau, relief manusia, serta relief yang diduga merupakan kepala kerbau.

Berbeda dengan tiga figur hewan sebelumnya, figur kerbau dan cecak diyakini memberikan pengaruh positif. Kedua figur hewan ini seringkali disematkan sebagai ornamen penghias bangunan. Terutama yang berfungsi sebagai hunian raja dan masyarakat. Di rumah adat masyarakat Simalungun terdapat kepala kerbau yang dibentuk dari ijuk. Tempat menancapnya tanduk kerbau asli, yang disebut pinar uluni harbou. Berfungsi sakral untuk menghalau segala marabahaya terhadap tempat tinggal mereka. Ornamen cecak dan kerbau juga bernilai profan. Hal ini tercermin dari nilai estetika gaya seni bangunan khas etnis Batak Simalungun.

Menyadari hal itu, Prof. Harry Truman Simanjuntak dalam kajian lapangan di Kompleks Megalitik Batu Gajah pada 6-10 Agustus 2018 menyatakan, “Keistimewaan situs tersebut adalah hubungan antara fakta dan mitos (tradisi megalitik). Tradisi ini berkembang pada masa sejarah (masa klasik/perkembangan kerajaan bercorak Hindu-Buddha di Nusantara)”.

Puang Siboro, figur-figur yang dikisahkan dalam cerita rakyat, serta kasus incest yang melatarbelakangi kutukan tersebut, merupakan fakta atau benar keberadaannya pada masa lampau. Sementara kutukan-kutukan merupakan mitos. Lebih tepatnya suatu kiasan untuk menerangkan hukuman berat bagi siapa saja yang melanggar hukum adat serta merusak alam.

Menjalin harmoni dengan alam

Upaya menjaga kelestarian lingkungan tampaknya sudah mendarah-daging dalam setiap individu masyarakat Batak Simalungun. Salah satunya dengan konsepsi tanah larangan. Mereka telah mengembangkan metode yang tepat guna untuk menjaga keseimbangan ekosistem tempat tinggal mereka. Hal tersebut merupakan wujud identitas local genius. Sekaligus local wisdom masyarakat Batak Simalungun dalam menjalin harmoni dengan alam.

Kompleks Megalitik Batu Gajah merupakan kawasan larangan atau natuurmonument. Telah ditetapkan semenjak masa pemerintahan Hindia-Belanda. Sebagaimana tertera dalam Zelfbestuur Besluit 1924 No. 18 tanggal 18 April 1924. Dalam dokumen tersebut terdapat lampiran perihal areal Batu Gajah seluas 0,8 ha. Wilayah ini diapit oleh Sungai Bah Kisat dan Sungai Bah Sipinggan. Selain untuk menegakkan legitimasi Raja di Dolok Panribuan, ditetapkannya Kompleks Megalitik Batu Gajah sebagai natuurmonument juga bertujuan untuk melestarikan kawasan hutan lindung yang mengelilinginya.

Daerah Cagar Alam Batu Gajah yang diapit dua aliran sungai, yakni Bah Kisat dan Bah Sipinggan yang diduga tempat penyipanan benda-benda bersejarah yang mempunyai nilai historis religius terlihat dari batu-batuan yang berbentuk binatang seperti : Batu Gajah (batu yang bentuknya menyerupai gajah) sebanyak 2 buah, Batu katak sebanyak 1 buah, Batu Ulok (Ulok berasal dari daerah Tapanuli yang berarti ular) sebanyak 1 buah, Batu lesung sebanyak 1 buah dan Batu Karang sebanyak 1 buah.

Situs Cagar Budaya Kompleks Megalitik Batu Gajah telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.88/PW.007/MKP/2011, 17 Oktober 2011. Pengelolaan Kompleks Megalitik Batu Gajah termasuk dalam wilayah kerja Bidang Wilayah Konservasi Sumber Daya Alam I Kabanjahe, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Sumatera Utara. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor 923/Kpts/Um/12/82, 27 Desember 1982 sebagai Cagar Alam Batu Gajah.

Bagi pengunjung ketempat ini disarankan untuk lebih berhati-hati saat mengeksplor, disebabkan jalan ke atas sangat sempit, curam, terjal dan bebatuan yang licin dan rapuh. Untuk mencapai kawasan Cagar Alam Batu Gajah dapat ditempuh rute sebagai berikut :

1. Medan – Tebing Tinggi – Pematang Siantar – Dolok Panribuan (Tiga Dolok), Rute ini ditempuh dengan jarak 153 km dengan waktu tempuh selama + 3 s/d 4 jam.

2. Medan – Berastagi – Kabanjahe – Merek – Tiga Runggu – Parapat – Dolok Panribuan (Tiga Dolok), Rute ini ditempuh dengan jarak 202 km dengan waktu tempuh selama + 4 s/d 5 jam perjalanan.

Untuk mencapai jalan masuk ke kawasan Cagar Alam Batu Gajah dapat ditempuh dengan menggunakan bus atau angkutan umum. Namun dari jalan aspal Tiga Dolok tepatnya hingga simpang Batu Gajah untuk masuk ke Dusun Pematang Desa Negeri Dolok tempat beradanya kawasan sejauh + 3 km tidak tersedia angkutan umum dengan kondisi jalan yang telah beraspal.

Dari Dusun Pematang dilanjutkan dengan berjalan kaki melewati jalan setapak yang sudah bersemen sejauh + 300 meter.

Semoga artikel ini memuaskan dahagamu akan kisah misteri ya !!!

SUMBER: KEMDIKBUD

Komentar

Postingan populer dari blog ini

INIHANTU - KISAH MISTERI DAN LEGENDA SRIGATI NGAWI

INIHANTU - KISAH HOROR LEGENDARIS SMA TUGU MALANG

INIHANTU - APAKAH GUNUNG KAWI AKAN MELETUS