INIHANTU - SEJARAH RADIO MALABAR BANDUNG YANG MENDUNIA
SEJARAH RADIO MALABAR BANDUNG YANG MENDUNIA
INIHANTU | SEJARAH RADIO MALABAR BANDUNG YANG MENDUNIA | Jumat (26/5), gerombolan Pramuka berseliweran di antara reruntuhan bangunan tua kaki Gunung Puntang, Pegunungan Malabar, Kabupaten Bandung. Beberapa di antara mereka duduk-duduk di atas reruntuhan itu. Sebagian lainnya mengangkat tinggi-tinggi tongsis (Tongkat narsis), dan berswafoto di sana.
Di antara semak belukar hutan pinus di kaki Gunung Puntang, Pegunungan Malabar, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, siapa sangka ada puing sejarah kolonial Belanda. Tempat ini dulunya adalah stasiun Radio Malabar.
Seabad lalu, di area tempat mereka bertamasya itu berdiri kompleks Radio Malabar, stasiun radio pertama yang menyambungkan komunikasi suara antara Indonesia dan Belanda. Reruntuhan bangunan tua yang jadi tempat tim Pramuka berswafoto itu, ialah rumah dinas para penjawat Radio Malabar selama mereka bekerja di sana sejak 1916.
Pegunungan ini kini menjadi destinasi wisata favorit masyarakat Bandung untuk berkemah. Selain akses yang mudah, udara segar, serta sederet warung penjual makanan dan minuman hangat, membuat ngarai tersebut banyak dikunjungi wisatawan.
Untuk menuju situs peninggalan Radio Malabar, Anda perlu menempuh jarak sekitar 20,7 km. Atau, jika ditempuh dengan kendaraan roda empat dan dua, Anda kira-kira akan menghabiskan waktu sekitar 50 menit melintasi Jalan Gunung Puntang. Meski terbilang jauh, berkelok, dan berkabut, Anda tak perlu cemas karena semua akses menuju situs Radio Malabar, atau yang kini akrab dijuluki Bumi Perkemahan Gunung Puntang, sudah beraspal.
Mudahnya mengakses Radio Malabar, tak semudah menjabarkan sejarahnya. Terutama tentang bagaimana Radio tersebut luluh lantak. Pasalnya, berbagai catatan sejarah, baik buku mau pun peninggalan penting, belum cukup membawa kita pada titik seterang-terangnya cerita Radio Malabar.
Namun, IDN Times mencoba mencatatkan kembali bagaimana Radio Malabar diprakarsai hingga akhirnya menjadi puing yang berisi segudang misteri.
1. Catatan Perjalanan Klaas Dijkstra
Nama Klaas Dijkstra, seorang menir Belanda yang datang ke Indonesia pada awal abad 20, diam-diam menuliskan catatan perjalanannya ke Radio Malabar. Ia ditugaskan Belanda untuk bekerja membantu dr De Groot, pendiri Radio Malabar, dalam mengoperasikan stasiun radio ini di selatan Bandung.
Catatan tersebut kemudian ditemukan seorang penulis bernama Arthur O Bauer ketika tengah menyelidiki bekas stasiun penyiaran Radio Kootwijk di Belanda pada musim semi 2001.
Singkat cerita, ia mendapat izin mengolah temuannya itu dan menerbitkan sebuah buku berbahasa Belanda berjudul Radio Malabar, Herinneringen aan een boeiende tijd 1914-1945. Atau jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, Radio Malabar, Kenangan dari Masa-masa yang Menyenangkan pada 1914-1945.
Buku tersebut kini kerap dijadikan landasan cerita tentang pembangunan hingga perpisahan antara pemerintah Belanda dengan Radio Malabar yang mahsyur. Dijkstra yang kreatif pun sempat mereportase pertemuan pertamanya dengan masyarakat Bandung Selatan, hingga kekagumannya pada mega proyek Radio Malabar.
Meski demikian, IDN Times mencoba mengulas sejarah Radio Malabar tidak hanya dari buku Arthur O Bauer, melainkan juga dari berbagai sumber lainnya.
2. Dijkstra mengagumi proyek Radio Malabar
Dalam buku Radio Malabar, Herinneringen aan een boeiende tijd 1914-1945 halaman 294, Dijkstra merinci dengan jelas bagaimana pada akhir 1920 ia berangkat dari Batavia--kini Jakarta, menuju Kota Bandung dan bergerak ke selatan menuju Stasiun Radio Malabar.
“Setibanya di Batavia pada akhir 1920, saya diberi tahu bahwa akan ditempatkan di kantor pusat layanan Radio di Bandoeng. Dr de Groot sangat menginginkan saya menjadi stafnya. Saya pun diminta untuk melakukan perjalanan secepat mungkin ke bergdessa--nama tempat di Batavia untuk pejabat-pejabat Bandoeng,” tulis Dijkstra.
Dalam potongan buku yang diberi subjudul Kunjungan Pertama Saya ke Radio Malabar, Dijkstra juga menulis kekagumannya pada Radio Malabar. “Ini akan menjadi pertama kalinya saya berkenalan dengan gunung-gunung tinggi, hutan, dan terakhir dengan keajaiban di ngarai Malabar. Seperti pertama kali Anda punya banyak pengetahun untuk diproses. Semuanya sangat berbeda dari Holland (Belanda)," tulis dia.
Tak memakan waktu lama, Dijsktra kemudian bergerak menuju Bandung dengan menggendarai mobil. Setibanya di Paris Van Java, ia tak lama beristirahat dan melanjutkan perjalanan ke Pangalengan, Bandung Selatan.
Dari Bandung, puluhan kilometer menuju kaki Gunung Puntang, tempat di mana Radio Malabar berdiri, lanskap Pegunungan Malabar sudah berada di depan mata Dijkstra.
“Saat itu masih pagi. Kabut tipis bergantungan di kaki pegunungan. Kami yang sibuk di jalan, melihat ratusan pedagang membawa barang dagangan mereka ke pusat kota. Keranjang-keranjang yang berat mereka gantungkan di bahu dengan seuntai bambu,” kata Dijkstra.
Setelah 15 menit berkendara dari Bandung, Dijkstra tiba di Dayeuh Kolot--dalam bahasa Indonesia berarti Kota Tua. Dijkstra terus melanjutkan perjalannya hingga melintasi jembatan yang berdiri di atas Sungai Citarum.
“Kami tiba di jembatan besi yang sempit, lalu jalan pun terbelah dua. Cabang kiri mengarah ke stasiun penerima (sinyal radio) Cangkring, dan yang kanan, yang harus kami lalui, menuju Bandjaran kemudian ke Radio Malabar,” ujar dia.
Dijsktra pun masuk ke sebuah jalan setapak berkerikil yang terhubung dengan Stasiun Radio Malabar. Kiwari ini, jalan tersebut dinamakan Jalan Puntang. Di sana, lanskap Pegunungan Malabar semakin indah dipandang.
“Jarang sekali saya melihat panorama yang lebih baik dari itu. Kami harus mendaki sekitar 700 meter lagi dari sini,” tulis dia.
Dari tulisan itu, Dijkstra juga mengungkap betapa orang-orang Belanda sangat dihormati pribumi. Ketika ia melintas, pribumi kerap berjongkok dan mengangkat topi bambu, simbol penghormatan bagi para menir.
Tapi, meski mendapat penghormatan dari pribumi, menir tetaplah menir di mata petugas keamanan Radio Malabar. Seorang menir sekali pun tidak mudah memasuki Stasiun Radio Malabar.
De Groot tampaknya sudah mewanti-wanti para penjaga pintu gerbang untuk selalu mewaspadai siapa pun yang datang berkunjung, tanpa kecuali orang Belanda. Dijkstra pun mengaku dihentikan seorang pribumi, petugas keamanan Radio Malabar, dan diperiksa sebelum akhirnya diizinkan memasuki kompleks megah itu.
Masuklah ia ke dalam Stasiun Malabar. Pemandangan pertama yang Dijkstra lihat adalah asrama, lebih tepatnya aula besar, tempat di mana pekerja pribumi tinggal. Kemudian ia melihat rumah-rumah dinas megah dan indah, yang berdiri dengan material bebatuan, tempat di mana pekerja Belanda tinggal.
Setelah perjalanan panjang itu, de Groot kini berada di hadapan Dijkstra. Untuk pertama kalinya ia akan bekerja di Bandung, di Stasiun Radio Malabar yang dipuja-puja bangsa dunia.
3. Proyek Radio Malabar keinginan Belanda atau ambisi de Groot?
Bagi Belanda, de Groot merupakan ilmuwan yang dianggap penting. Sebelum membangun Stasiun Radio Malabar, lulusan Technische Hogeschool, Jerman, itu berulang kali membantu negaranya dalam proyek besar yang berkaitan dengan teknologi informasi seperti telegram. Misalnya, ketika ia dimintai bantuan untuk mendirikan Stasiun Telegrafi di Sabang, Aceh, pada 1911, juga tiga stasiun serupa lainnya di Ambon, Timor, dan Situbondo pada 1913.
Berbagai pengalamannya di Indonesia ia tumpahkan dalam sebuah disertasi berjudul Pengaruh Iklim Tropis pada Koneksi Radio. Disertasi itu pula yang membuatnya lulus dari Technische Hogeschool. Selain mengantarkannya menjadi sarjana, disertasi tersebut disambut baik Pemerintah Belanda yang tengah menginginkan memperkuat diri lewat pembangunan jaringan komunikasi nirkabel jarak jauh. Teknologi nirkabel memang sebuah terobosan inovatif, karena situasi Perang Dunia I membuat pasokan kabel tidak mungkin dimiliki Belanda di Indonesia.
Stasiun Radio Malabar dianggap proyek yang ambisius, kala itu. Bagaimana tidak, mereka belum pernah mengerjakan proyek radio yang mampu menghubungkan gelombang suara dari Bandung ke Belanda yang berjarak 12 ribu km.
Pemerintah Hindia Belanda pun mempercayakan semua pembangunan Radio Malabar pada de Groot dan disertasinya. Maka itu, tak heran jika beberapa catatan menekankan Radio Malabar merupakan ambisi de Groot yang didukung Belanda.
Kaki Gunung Puntang yang berupa ngarai sebagai lokasi berdirinya Radio Malabar pun tentu tidak asal tunjuk. De Groot berpendapat Gunung Puntang dan Gunung Halimun yang mengapit ngarai itu, cocok untuk dijadikan dudukan pemancar gelombang radio.
Mulailah de Groot memuntahkan seluruh pengetahuannya tentang telekomunikasi sejak 1916 di kaki Gunung Puntang. Ia memilih Willem Smith & Co’s Transformatorenfabriek, sebagai perusahaan penyedia kumparan besar dan trafo. Sementara, Smit Slikkerveer adalah merek yang dipilih untuk memasok generator radio.
Pembangunan tak hanya dilakukan di kawasan Radio Malabar. Untuk memasok kebutuhan listrik yang besar, de Groot memprakasai pembangunan beberapa pembangkit listrik baru, salah satunya Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Dago, Bandung.
Berbagai teknologi yang hadir di lembah Gunung Puntang-Halimun membuat masyarakat pribumi menjuluki lokasi proyek tersebut sebagai Negara Puntang. Julukan itu tak lepas dari pentingnya Radio Malabar bagi Belanda, yang seakan tak pernah bisa menolak apa pun permintaan de Groot, demi terciptanya radio nirkabel dari Bandung ke Belanda.
Termasuk tentang sebuah kolam besar yang kini dinamai Kolam Cinta. Kolam ini memang berbentuk simbol cinta, dan sekarang ini kerap dianggap sebagai simbol romansa. Padahal, sesungguhnya kolam ini dibangun sebagai pendingin atribut mesin radio, bukan berbentuk cinta, melainkan arah mata angin yang menunjuk ke Belanda.
Juga tentang dua gua yang dibangun de Groot di sekitar kompleks Radio Malabar, untuk menjaga mesin-mesin dari serangan negara lain, termasuk Jepang.
4. Dua negara terhubung melalui Radio Malabar pada 18 Januari 1923, dan puisi pun dikirim lewat telegram
Hingga 1922, enam tahun proyek stasiun Radio Malabar digarap tapi belum membuahkan hasil. Dalam buku Radio Malabar, Kenangan dari Masa-masa yang Menyenangkan pada 1914-1945, de Groot tak punya lagi banyak waktu untuk membuat Radio Malabar berjalan sempurna. Sebab, surat kabar di seluruh dunia telah memberitakan Radio Malabar sebagai stasiun bikinan Hindia-Belanda yang mutakhir.
Berbagai uji coba telah mereka lakukan. Pada pengujian pertama, antena radio tak mampu menahan tegangan tinggi yang terjadi, sehingga isolator suspensi tidak bekerja. Tak hanya itu, kecelakaan pekerja juga terjadi ketika antena pengganti hendak dipasang, hingga berbagai peristiwa itu membuat kesuksesan Radio Malabar terus ditunda.
Tapi, pada akhir November 1922, pemancar mesin (PKX) yang berada di Bandung pertama kali menerima sinyal dari Belanda pada panjang gelombang 15 km. Namun beberapa masalah kembali terjadi, setelah sinyal tersebut berhasil ditangkap.
Baru pada 18 Januari 1923, suara dari Stasiun Kootwijk (PCG) didengar untuk pertama kalinya di stasiun penerima Radio Malabar, yang berdiri di Cangkring, beberapa kilometer dari pusat radio. Suara tersebut berasal dari Komite Radio Kootwijk, Detiger, dengan panjang gelombang 8.400 meter.
“Momen bersejarah ini segera dilaporkan oleh radio melalui PKX, dengan catatan: penerimaan QSA (sinyal kuat). Selanjutnya, dilaporkan bahwa Kootwijk datang lebih kuat dari pada stasiun Eropa lainnya, juga lebih kuat dari Nauen. Sukses besar!” tulis Dijkstra.
Oleh wartawan di Jawa, peristiwa tersebut disebut sebagai tonggak sejarah dalam lalu lintas dua negara. De Groot pun berbahagia, karena disertasinya selama ini berhasil direalisasikan. Terobosan luar biasa yang tak akan ia lupakan hingga akhir hayatnya.
Saking terharunya dengan peristiwa itu, sang ilmuwan kemudian membuat puisi dalam secarik kertas dan ia kirimkan ke Belanda. Berikut sebuah salam puitis dari Radio Malabar (PKX) untuk Radio Kootwijk (PCG), yang juga telegram panjang pertama di Hindia-Belanda:
Nyanyian PKX ke PCG oleh dr. de Groot
Saya tidak tahu apa artinya,
Bahwa saya sangat bahagia!
Keinginan dari masa lalu,
Itu terlintas di pikiran saya hari ini.
Gunung-gunung tinggi dan saya sudah menunggu
Di bawah hujan dan sinar matahari,
Dan seperti sirene, tender,
Panggil aku dengan kata rekan.
Seberapa baik leluhur saya dulu,
Lorelei yang bahagia
Ketika dia memanggil, datang dengan perahu,
Semua kapal ada di sini.
Sia-sia lima tahun berseri-seri,
Jauh lebih cantik dari Lorelei
Saya terpesona, saya terdengar, saya bergema,
Tapi Kootwijk tidak pernah datang.
Saya sering mencoba menghubungi Anda,
Dengan berbagai macam suara,
Tapi semua cara yang mereka ciptakan,
Hanya kesunyian yang begitu sunyi dan susah.
Saya sangat ingin menjadi
Busur yang saya lukis begitu indah,
Tetapi tidak ada Tuhan yang membantu saya di bumi ini,
Cintaku, kau tidak mau mengerti!
Jadi saya akhirnya mengambil mesin,
Suku tersayang,
Namun tidak ada ekspresi yang berkedut
Di sana di negara asal.
Saya mendengar stasiun jauh seperti itu,
Dengan sambutan yang baik,
Tapi aku tidak akan pernah membalasmu
Cintaku, kau diam oh begitu lama.
Sekarang saya tahu mengapa, hari ini, dengan sukacita,
Saya dengan penuh semangat mengirim balok:
Karena kami berdua bisa mendengar
Kami hari ini untuk pertama kalinya.
Dan apakah saya mendengar suara Anda,
Masih sepi tentang negara dan laut,
Jadi saya harap itu suara Anda
Yang kuat dan semakin banyak.
Aktifkan frekuensi terbaik
Aku ingin kau mendengar sukacitaku
Hari ini dan Lenzen selanjutnya!
Hore, Hore, Hore
Panjang umur PCG!
5. Peresmian yang kacau sebelum telegram terkirim
Apakah de Groot selalu bahagia setelah menulis pesan itu? Tentu tidak. Karena ada salah satu momentum yang membuat de Groot stres, ketika hujan badai dan petir menghantam Radio Malabar beberapa hari sebelum di-launching pada 5 Mei 1923.
Alhasil, beberapa perangkat radio rusak, sekaligus membuat Radio Malabar tak dapat bekerja dengan baik. Besar kemungkinan kala itu de Groot merasa bersalah, karena Gubernur Jenderal Dirk Fock sudah datang untuk meresmikan Radio Malabar.
Peresmian dilakukan dengan mengirim pesan telegraf dari Radio Malabar ke Radio Kootwijk (stasiun penerima) di Belanda, untuk Sang Ratu dan jajaran menteri. Namun, hingga acara peresmian usai, mereka tak menerima balasan dari Belanda.
Betapa leganya hati de Groot ketika ia menerima pesan balasan dari Ratu Belanda pada 6 Mei 1923 malam. Kendati, hingga saat ini, peresmian Radio Malabar dianggap telah diketuk-palu pada 5 Mei 1923.
6. Ketika de Groot berpulang dan Radio Malabar dihancurkan
Seketika nama de Groot sebagai ilmuwan terdengar di berbagai penjuru dunia. Ia dianggap berhasil membawa negaranya selangkah lebih maju, dengan disertasi yang dibuktikan lewat praktik selama hampir satu dekade.
Namun, singkat cerita, waktu menempuh perjalanan dari Indonesia ke Eropa, tepatnya di Laut Merah pada 1 Agustus 1927, de Groot mengalami sakit dan meninggal di atas kapal. Tak ada yang dapat menjelaskan lebih rinci apa penyakit yang diderita de Groot kala itu. Yang pasti, kepemimpinan Radio Malabar harus segera dialihkan.
Beberapa kali Radio Malabar mengalami pergantian pimpinan. Salah satu pemimpin yang sempat menjabat saat itu ialah Klaas Dijkstra.
Sementara, kepulangan de Groot membuat orang-orang Belanda terpukul, termasuk Ratu mereka. Maka, melalui siaran Radio Malabar, Sang Ratu berpidato mengenang jasa de Groot sekaligus mendirikan sebuah patung memorabilia di Lapangan Citarum, Bandung.
Pada 1950-an, patung tersebut dibongkar pribumi karena dianggap melanggar kesusilaan. Namanya yang pernah dijadikan nama jalan di Bandung pun, kini telah diganti menjadi Jalan Siliwangi.
Pada 1942, kabar mengenai serangan Jepang ke Indonesia membuat pengurus Radio Malabar resah. Semakin hari, kabar tersebut terus terdengar pasti. Maka itu, salah seorang pejabat Radio Malabar, Van der Berg, mulai menghancurkan beberapa peralatan penting di sana. Alasannya disebut-sebut, agar bila Indonesia jatuh ke tangan Jepang, Radio Malabar tak akan berfungsi.
Menurut informasi resmi yang dapat diakses di situs bersejarah itu, beberapa orang Belanda, termasuk Klaas Dijkstra ditangkap Jepang dan dikirimkan ke penjara. Dijkstra kemudian bebas dari penjara pada akhir 1945. Namun, IDN Times tak menemukan catatan kisah akhir hayat Klaas Dijkstra.
Setahun setelah Dijkstra dibebaskan, pada 1946, Radio Malabar diketahui telah dirusak pribumi. Beberapa sumber memberikan keterangan, pribumi yang merusak Radio Malabar adalah para pejuang kemerdekaan di Bandung Selatan.
Tak ada catatan yang mampu menjelaskan secara lengkap, alasan pribumi menghancurkan Radio Malabar. Namun, jika dicocokkan dengan linimasa, besar kemungkinan pribumi menghancurkan proyek raksasa itu dilandasi semangat Bandung Lautan Api, yang bermula sejak 1945.
Ketika Indonesia benar-benar lepas dari tangan penjajah, akhirnya, infrastruktur Radio Malabar yang tersisa dipindahkan ke Dayeuh Kolot, pusat Kota Bandung kala itu. Di sana, pemerintah Indonesia membangun kembali infrastruktur dan menjadi cikal bakal berdirinya PT POS Indonesia.
Kembali mengingat momentum bersejarah kala Radio Malabar pertama kali menerima suara dari Belanda, de Groot menutup puisinya dengan kalimat, “Panjang umur PCG!” Apa yang dikatakan de Groot kala itu benar adanya, karena PCG, yang ia maksud Radio Kootwijk, masih berdiri hingga sekarang.
Jika puisinya adalah sebagian dari doa, dan kalimat penutup puisi de Groort adalah “Panjang umur PCX”, bukan tidak mungkin Radio Malabar bisa kita temui dewasa ini...
Semoga artikel ini memuaskan dahagamu akan kisah misteri ya !!!
Komentar
Posting Komentar