INIHANTU - MISTERI KISAH TOKOH ANGLING DHARMA NYATA ATAU REKAAN
MISTERI KISAH TOKOH ANGLING DHARMA NYATA ATAU REKAAN
INIHANTU | MISTERI KISAH TOKOH ANGLING DHARMA NYATA ATAU REKAAN | Siapa yang tak tahu sosok Angling Dharma? Beliau adalah seorang tokoh legenda dalam tradisi Jawa, yang dianggap sebagai titisan Batara Wisnu. Apalagi sejak film Angling Dharma ditayangkan di salah satu televisi swasta, Indosiar. Masyarakat luas menjadi lebih kenal beliau sebagai sosok raja di kerajaan Mlowopati.
Salah satu keistimewaan beliau adalah kemampuannya untuk mengetahui bahasa segala jenis binatang. Selain itu, ia juga disebut sebagai keturunan Arjuna, seorang tokoh utama dalam kisah Mahabharata. Beliau bersama patihnya, Batik Madrim mampu menjadikan Mlowopati menjadi besar dengan memenangi beberapa peperangan penting.
Selain itu beliau juga dikenal sebagai seorang raja yang arif dan bijaksana juga tersohor bisa menundukan bangsa jin.Tersohor juga dengan berbagai macam benda pusaka peninggalanya seperti : Keris Polang Geni, Panah Pasopati, dan lain sebagainya.
Akan tetapi siapa yang tahu bahwa makam dan beberapa peninggalan penting dari Prabu Angling Dharmo berada di kota Pati Jawa Tengah, tepatnya di desa Mlawat (Mlowopati) kecamatan Sukolilo. Kalau dari desa saya, kira-kira berjarak 15 Km-an. Selain itu, di sana juga terdapat makam sang Patih, Batik Madrim. Terdapat juga gua yang sangat dalam yaitu gua Eyang Pikulun Naga Raja Guru Prabu Angling Darma juga tempat pemandian yang sampai sekarang masih di sakralkan oleh penduduk setempat.
Dan desa Mlawat sampai sekarang masih menjadi salah satu objek wisata sebagai peninggalan bersejarah yang kerap dikunjungi wisatawan.
Tapi sungguh perihal ini, sepertinya sangat perlu diadakan penelitian lebih lanjut dan kemudian menjadi bagian kekayaan sejarah Indonesia karena semua tertuliskan dan didukung data-data yang valid. Selama ini tentang keberadaan makam Prabu Angling Dharma masih simpang siur karena hanya bersifat sejarah dari mulut ke mulut.
Mungkin jika Anda adalah warga Bojonegoro akan menolak dengan keras dan bersikukuh mengatakan bahwa makam Prabu Angling Dharma berada di Bojonegoro. Jika tidak demikian, sebutan “Laskar Angling Dharma” sebagai warga Bojonegoro mungkin akan ditarik kembali.
Dari beberapa literatur yang saya baca, memang Prabu Angling Dharma pernah bersinggah di Bojonegoro saat mengalami masa hukuman dan kutukan menjadi burung Belibis.
Beliau dihukum oleh Dewi Uma dan Dewi Ratih karena melanggar janji sendiri untuk tidak menikah lagi sebagai wujud cintanya kepada Dewi Setyowati yang mati bunuh diri. Dianggap melanggar janji saat Dewi Uma dan Dewi Ratih menguji keteguhan janji itu dengan cara menyamar menjadi nenek-nenek dan gadis cantik menyerupai Dewi Setyowati. Dan runtuhlahlah iman sang Prabu.
Kemudian beliau dikutuk kedua kalinya oleh seorang putri raksasa yang cantik dan pemakan manusia sebagai burung Belibis. Dan pada perjalanan selanjutnya sampailah beliau di Wonosari, Bojonegoro dan kisah selanjutnya beliau memperistri Dewi Srenggono, Trusilo, dan Mayangkusuno dan kemudian mempunyai beberapa putra.
Dan hal terpenting yang perlu dicatat adalah sang Prabu pernah kembali ke kerajaan Mlowopati beserta istri dan putranya karena saat itu Mlowopati diserang Raja Raksana Pancadnyono. Dan atas kembalinya sang Raja Mlowopati, dimenangilah peperangan itu walaupun Batik Madrim dan pasukanya sempat kwalahan.
Akan tetapi belum diketahui secara pasti apakah sang Prabu menetap di Mlowopati sampai akhir hayat atau tidak. Sehingga sampai saat ini masih menjadi perdebatan yang panjang perihal letak makam Prabu Angling Dharma.
Selain di Bojonegro, tak sedikit yang menganggap bahwa makam Angling Dharma terdapat di tanah Sunda beserta kerajaanya. Dan lebih menarik lagi oleh beberapa orang juga disebutkan Angling Dharma pernah di Temanggung (lereng Gunung Sumbing), tepatnya di daerah Kedu, arah ke Parakan.
Ah, sepertinya memang sangat dibutuhkan penelitian untuk mengetahui kebenaran dari letak makam Prabu Angling Dharma beserta kerajaanya. Walaupun begitu, saya masih meyakini bahwa makam Prabu Angling Dharma berada di desa Mlawat, kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jateng.
Selain memang di sana sudah menjadi tempat wisata yang bayak wisatawan berkunjung, di sana juga terdapat Sendang Nogorojo dan Sendang Nogogini (Nogogini adalah istri dari Naga Pertala, sahabat Angling Dharma).
Angling Dharma, Tokoh Nyata atau Rekaan?
LEGENDA berkisah Prabu Angling Dharma dilahirkan oleh Pramesti, putri Jayabaya. Sementara Jayabaya merupakan putra Gendrayana, cucu Yudayana dan cicit Parikesit. Silsilahnya jika ditarik sampai ke tokoh Mahabharata: Abimanyu, ayah Parikesit dan Arjuna, kakek Parikesit. Dia bertakhta di Kerajaan Malawapati.
Bagi banyak orang, kisah Angling Dharma bukan legenda. Beberapa daerah, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur, percaya tokoh itu pernah hidup di masa lalu. Misalnya, di daerah Pati, Jawa Tengah, terdapat makam yang diyakini tempat peristirahatan Angling Dharma. Letaknya di Desa Mlawat, Kecamatan Sukolilo. Nama Mlawat mirip Malawapati, kerajaan Angling Dharma. Dua kilometer dari sana, di Desa Kedung Winong, Kecamatan Sukolilo, diyakini terdapat makam Patih Batik Madrim, tokoh dalam kisah Angling Dharma.
Tak hanya daerah Pati, di Bojonegoro juga terdapat Situs Mlawatan di Desa Wotangare, Kalatidu, yang dipercaya sebagai petilasan Angling Dharma. Lebih dari itu, Angling Dharma sempat diwacanakan menjadi ikon Kota Bojonegoro. Sampai-sampai tulisan di gapura perbatasan berbunyi: Selamat Datang di Bumi Angling Dharma. Tim kesebelasan kota itu, Persibo, juga punya julukan Laskar Angling Dharma.
Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar Sejarah Universitas Negeri Malang menjelaskan, sebelum berkembang kisahnya di berbagai daerah, Angling Dharma muncul lebih dulu dalam sastra lisan pada masa Hindu-Buddha.
“Yang menarik kemudian muncul klaim setting area untuk daerah-daerah tertentu. Dalam kisah yang kini dikenal luas, misalnya ada yang disebut Negara Boja atau Bojanagara, yang kemudian dianggap sebagai toponimi daerah yang kini dikenal dengan Bojonegoro,” ujar Dwi lewat sambungan telepon.Penyebutan tokoh Jayabaya di kisah itu mengingatkan pada Sang Mapanji Jayabhaya, penguasa Kadiri yang memerintah pada 1135-1157 M. Dia naik takhta menggantikan Bameswara. Tak banyak keterangan soal asal usulnya. Selama memerintah 22 tahun, baru tiga prasasti yang sampai pada hari ini. Kabarnya, dia menjadi raja setelah merebut hak naik takhta dari kakaknya yang putra mahkota.
Pertanyaannya, apakah Angling Dharma tokoh sejarah? Apakah dia berhubungan dengan sejarah Kadiri, khususnya Jayabaya?
Dwi sepakat bahwa kemungkinan tradisi lisan kisah Angling Dharma sudah ada sejak sebelum Majapahit. Versi tertulis berjudul Ari Dharma dan adaptasi ke dalam relief candi baru muncul pada era Majapahit. Namun, tak semua karya sastra mengabadikan peristiwa historis. Penokohannya juga tak mesti selalu ada dalam dunia nyata. Sastra jenis kidung yang berkisah tentang tokoh historis misalnya Kidung Ranggalawe dan Kidung Sorandaka.
“Dalam pengisahannya itu juga ada bias. Ada tambahan pengurangan, bias dari fakta untuk dramatika,” kata Dwi.
Apalagi hingga kini dikenal banyak versi naskah tentang Angling Dharma. Menurut Lydia Kieven dalam Menelusuri Figur Bertopi dalam Relief Candi Zaman Majapahit, Angling Dharma sekarang adalah versi Bahasa Jawa Modern dari kidung bahasa Jawa Pertengahan berjudul Aji Dharma. Kisah yang kemudian berkembang itu tak lagi bisa dikorelasikan dengan kisah yang terpahat dalam relief candi.
“Saya tidak tahu, kenapa bisa jadi perubahan itu. Saya tidak melihat apakah itu merujuk pada arti harfiah yang sama,” ujar Dwi.
Dwi meyakini Angling Dharma hanyalah tokoh rekaan. Namun, meski tokohnya fiktif, nama tempat, geografis ekologis, jenis tanaman, sungai, dan laut, tetap mencerminkan kondisi nyata pada masa itu. Ia juga sah dianggap sebagai gambaran sosial dan budaya ketika sastra itu ditulis.
“Itulah kenapa susastra tetap bisa dijadikan sumber. Tidak untuk memfaktualkan tokoh fiktif. Tokoh bisa rekaan, namun kisahnya bisa saja memang kisah faktual,” kata Dwi.
Jika karya fiksi itu kini dianggap seolah faktual, itu wajar. Pasalnya, dia begitu memasyarakat. Itulah, menurut Dwi, mengapa kemudian ada pelokalan atau pengkaitan kisah dengan wilayah tertentu.
“Bahkan ada kadang-kadang yang mengatakan, tradisi lisan asal usul daerah itu tergambar di Angling Dharma,” ujar Dwi.
Pun jika kemudian dihubungkan dengan Jayabaya. Menurutnya, ini merupakan penjelasan yang ditambahkan kemudian. Soalnya, dalam tradisi sebelumnya, Angling Dharma tak dikenal asal usulnya.
“Di kisah ini tidak disebut anak siapa, dari raja mana, baru kemudian pada perkembangan selanjutnya dicantolkan dengan Jayabaya. Ya, itu wajar saja, Jayabaya kan raja yang begitu dikenal orang Jawa,” kata Dwi.
Begitu juga soal keberadaan Kerajaan Malawapati. Tanpa ada bukti yang jelas, kerajaan itu pun bisa jadi hanya rekaan. Kalaupun ada tempat yang mirip namanya, kemungkinan hanya meminjam dari kisah Angling Dharma yang sudah begitu dikenal.
“Bisa saja kisahnya terkenal dulu, baru kemudian desa-desa itu meminjam nama-nama dalam sastra yang sudah terkenal,” kata Dwi.
Dwi mengatakan kisah Angling Dharma hingga bisa diminati seperti sekarang ini karena keragaman tokohnya. Terutama karena berkaitan dengan cerita binatang. Buktinya, kisah tantrik atau cerita hewan banyak dijumpai sebagai relief dinding candi karena memang disukai pada masanya.
Pesan yang terkandung dalam cerita Angling Dharma juga dalam. Tentang kesetiaan dan dharma.
“Biasanya yang setia itu istri, tapi ini tidak. Ia (Angling Dharma, red.) laki-laki yang setia pada istri. Dia ingin ikut mati ketika istrinya mati. Setelah istrinya meninggal, dia bahkan hanya akan mencari wanita yang mirip dengan almarhum istrinya, Satyawati,” jelas Dwi.
Dari segi bahasa, ari artinya adik, jika diambil dari judul awalnya, Ari Dharma. Menurut Dwi, ari seperti sebutan suami kepada istrinya. Kebiasaan ini dibuktikan oleh keterangan di Prasasti Muncang dari masa Mpu Sindok pada 866 saka (944 M). Disebutkan istri yang merupakan putri dari raja sebelumnya, Wawa, disebut ari parameswari dyah kepi.
"Ada kata ari' di sana. Ini sebutan Mpu Sindok untuk istrinya, Dyah Kbi," jelas Dwi.
Adapun dharma artinya ajaran. Dengan demikian, menurut Dwi, tokoh ini tengah memberikan tuntunan mengenai dharma suami kepada istri termasuk kesetiaan seorang suami kepada pasangannya.
"Nampaknya kisah tuntunan. Tokoh ini bukan nama diri. Ini nama sebutan. Tokoh kisah yang memberikan tuntunan, kesetiaan suami," kata Dwi.
Di luar itu, kisah ini terbukti mampu melintasi zaman. Ceritanya tak sarat dengan bahasa-bahasa agama, tapi lebih kepada hubungan sosial manusia. Ketika Islam berkembang pun, cerita ini tetap diminati. Bahkan, bentuknya tak lagi literer dan visual, tapi seni pertunjukkan.
“Nilai-nilainya universal. Jadi mampu melintas zaman,” ucap Dwi.
Beberapa daerah mengklaim memiliki petilasan Angling Dharma. Padahal, ada yang meyakininya tokoh rekaan.
Jika Anda suatu saat melewati Pati, cobalah bersinggah sebentar dan menengok makam di Sukolilo. Tentang kebenaranya, wallohua`lam. Semoga bermanfaat.
Semoga artikel ini memuaskan dahagamu akan kisah misteri ya !!!
Baca Juga :
KISAH MISTERI HUTAN BLORA JAWA TENGAH
Komentar
Posting Komentar