INIHANTU - SEJARAH DAN PENAMAAN DANAU TIGA WARNA KALIMUTU
SEJARAH DAN PENAMAAN DANAU TIGA WARNA KALIMUTU
INIHANTU | SEJARAH DAN PENAMAAN DANAU TIGA WARNA KALIMUTU | Membicarakan Nusa Tenggara Timur (NTT) tidak bisa lepas dari Pulau Komodo dan hewan Komodo sebagai penghuninya. Namun, selain Pulau Komodo, masih banyak tempat wisata lain yang masih layak untuk dikunjungi di NTT, yaitu Gunung Kelimutu.
Gunung Kelimutu adalah gunung berapi yang terletak di Pulau Flores, Provinsi NTT. Lokasi gunung ini tepatnya berada di Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende.
Memiliki tinggi 1.639 meter (5.377 kaki), Gunung Kelimutu terakhir meletus pada tahun 1886. Nama Kelimutu merupakan gabungan dua frasa yakni “keli” dan “mutu” yang artinya mendidih.
Menyambangi kawasan Kelimutu untuk menyaksikan danau Tiga Warna-nya tidaklah mudah, butuh perjuangan dan dana ekstra. Dilansir GNFI dari buku TEMPO: Hikayat 45 Danau Indonesia, dari Jakarta ke Kelimutu via Ende lama penerbangan bisa sampai 6-18 jam dengan harga tiket pesawat Rp 1,3-2,5 juta. Setelah menggunakan pesawat, disambung lagi dengan perjalanan darat memakai mobil dari Ende ke Kelimutu. Lamanya perjalanan bisa 2-3 jam dengan biaya sewa mobil plus supir Rp 700 ribu per hari.
Kilas Sejarah dan Penamaan Danau Tiga Warna
Danau Kelimutu ditemukan pertama kali pada 1915 oleh orang Belanda keturunan Lio bernama Van Such Telen. Kemudian pesonanya semakin dikenal setelah Y. Bouman melukiskannya dalam tulisan pada 1929.
Sejak saat itu, tidak hanya wisatawan yang berdatangan, tetapi juga ilmuwan yang ingin meneliti kejadian langka dari bergonta-gantinya warna Danau Tiga Warna Gunung Kelimutu yang terbilang langka tersebut. Pada 26 Februari 1992, Kelimutu ditetapkan menjadi Kawasan Konservasi Alam Nasional.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, terdapat tiga danau di Gunung Kelimutu. Tiga Danau itu memiliki nama di mana masing-masing dipercaya oleh masyarakat setempat memiliki kekuatan magis, berikut uraian namanya:
Tiwu Nuwa Muri Koo Fai: Tempat berkumpulnya jiwa-jiwa muda yang telah meninggal
Tiwu Ata Polo: Tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang meninggal yang selama hidupnya melakukan kejahatan
Tiwu Ata Mbupu: Tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang tua yang telah meninggal
Perubahan Warna Danau, Tanda Virus Corona Berakhir?
Ende-Kelimutu menjadi andalan utama pariwisata Ende. Apalagi cerita seputar misteri di balik keajaiban danau ini telah menyebar ke seluruh dunia, sehingga wisatawan berbondong-bondong menyambangi Kelimutu setiap tahunnya.
Kampung Moni merupakan kampung terdekat menuju danau Kelimutu. Letaknya berada di Desa Koanara, Kecamatan Wolowaru, Kabupaten Ende, NTT, dengan jarak 13 kilometer dari Danau Kelimutu. Tak heran dari Moni hanya membutuhkan waktu 45 menit untuk mencapai bibir danau Tiga Warna Kelimutu.
Pada bulan Mei 2020, Danau Kelimutu kembali berubah warna. Perubahan seperti ini, sebenarnya sering terjadi setiap tahun. Ketua Forum Komunitas Adat Penyangga Danau Kelimutu, Yohanes Don Bosco Watu menjelaskan perubahan air Danau Kelimutu yang terjadi pada pertengahan bulan Mei sebagai pertanda akan terjadi perubahan alam yang besar di bumi.
Yohanes pun mengaitkan itu dengan virus corona atau Covid-19 yang tengah mewabah di sejumlah daerah di Indonesia. "Nah, yang kita hadapi saat ini adalah pandemi Covid-19. Wabah ini akan segera berakhir. Itu yang diprediksi masyarakat adat setempat," tutur Yohanes seperti dilansir GNFI dari Media Indonesia.
Menurutnya, saat ini, air Danau Tiwu Ata Bupu dari sebelumnya warna hijau muda berubah menjadi hijau tua. Tiwu Ata Polo berubah dari hijau menjadi hijau kebiruan dan Tiwu Nuwa Muri Koo Fai berubah dari dari biru kehijauan menjadi biru muda. Baginya, perubahan warna air di ketiga danau ini menandakan akan terjadi sesuatu yang baik berskala lokal, nasional dan internasional.
"Ini memang dikaitkan dengan mitos, tetapi masyarakat meyakini akan terjadi perubahan besar. Saya memprediksikan wabah Covid-19 segera berakhir," tambahnya.
Sebelumnya pada awal tahun 2019 ketika wabah Covid-19 belum muncul dan menggila di seluruh dunia, danau Kelimutu juga pernah berubah warna. Saat itu Yohanes meyakini akan terjadi peristiwa besar di Indonesia pada masa yang akan datang. "Itu menjadi tanda bahwa akan terjadi sesuatu hal di masa mendatang entah itu kerusuhan atau pun kematian maupun bencana alam yang bakal menimpa bangsa Indonesia," kata Yohanes pada 2019 lalu, dikutip GNFI dari Kupang Tribunnews.
Yohanes Watu yang juga Mosalaki Tana Mau Gadho Woloara Kelimutu ini juga mencontohkan pada 1992 sebelum terjadi bencana gempa bumi dahsyat yang meluluhlantakkan sebagian Pulau Flores, sebulan sebelumnya telah terjadi perubahan warna di Danau Kelimutu.
Lalu pada 1998 sebelum kejatuhan Soeharto, ketiga danau tersebut sempat berubah warna di awal tahun. Masyarakat setempat memprediksikan akan terjadi perubahan besar di negeri ini. Selanjutnya pada 2014, sebelum pemilu presiden, Danau Kelimutu sempat beberapa kali berubah warna.
"Kami memprediksikan akan ada peristiwa penting dalam sejarah Indonesia, ternyata pergantian presiden berlangsung aman tanpa gejolak," pungkasnya.
9 Hal yang Hanya Bisa Ditemukan di Danau Kelimutu, Flores
Danau Tiga Warna atau Danau Kelimutu adalah danau yang pernah menjadi gambar di selembaran uang lima ribu rupiah edisi zaman dulu. Saya pun sewaktu kecil hanya tahu dan melihat gambarnya ketika melihat dari lembaran uang ini.
Siapa sangka pada usia 22 tahun, saya secara nyata melihat langsung pesonanya. Berbekal selembar kertas yang isinya penugasan menjadi salah satu pendidik di Kabupaten Ende NTT, saya hijrah dari Semarang menuju tanah Flores.
Genap seminggu di perantauan, saya mulai mencari informasi di sosial media serta pendapat masyarakat di sana tentang Danau Kelimutu. Tempat yang hanya saya lihat di gambar dan tak pernah terbayang bisa berkunjung ke sini sebelumnya.
Dengan menggunakan truk kayu dengan bak terbuka, saya menempuh perjalanan kurang lebih 2,5 jam dari pusat kota Ende. Selama perjalanan, jarang saya temukan jalan yang lurus dan datar. Ternyata, Danau Kelimutu jauh lebih indah dari apa yang saya lihat di gambar;
1. Rimbunnya pohon kemiri setinggi rumah 2 lantai
Tak jauh dari area parkir, mata kita akan disuguhi panorama memikat hutan wisata.
Hal yang tak bisa saya lupakan disini adalah deretan pohon kemiri setinggi rumah dua lantai yang mendominasi hutan wisata ini. Daunnya yang lebat layaknya pohon beringin membuat pengunjung betah berteduh berlama-lama di bawahnya.
Udara yang sejuk, warna daun-daun hijau yang segar dan sesekali terdengar suara khas serangga tonggeret melepaskan segala penat yang ada di otak.
Suasana hutan wisata di sini memang seperti hutan wisata di tempat lainnya. Tak ada sesuatu yang unik di sini, tapi bagaimanapun juga untuk melihat pesona danau jalan satu-satunya adalah melewati hutan wisata ini.
2. Tebing yang curam dan sang monyet penjaga
Setelah kembali melangkahkan kaki selama kurang lebih 5 menit, pemandangan tebing dari bebatuan yang curam memenuhi bola mata. Saat saya mendekat untuk mengetahui seberapa curam tebing itu, saya dikagetkan oleh sosok penunggu tebing.
Si monyet penunggu tebing tiba-tiba muncul dari ranting-ranting pohon di bibir tebing. Kala itu, ada 3 monyet berbulu kecokelatan yang muncul.
Mereka bertiga duduk sembari betingkah lucu menatap saya. Saya kembali melanjutkan perjalanan. Tiga monyet itu kembali menghilang dibalik rimbunnya dedaunan. Mungkin monyet-monyet tadi ingin mengingatkan untuk tak berlama-lama menengok kecuraman tebing itu karena dapat membahayakan keselamatan saya. Setidaknya begitulah pikiran positif saya.
3. Danau “Tiwu Nuwa Muri Koo Fai” dan “Tiwu Ata Polo”
Lepas dari sang monyet, saya menaiki kurang lebih 15 anak tangga dari semen untuk melihat dua dari tiga danau yang ada di kawasan Kelimutu ini. Dua danau tersebut adalah “Tiwu Nuwa Muri Koo Fai” dan “Tiwu Ata Polo”
Tiwu Ata Polo, danau yang berada di sebelah kanan saat posisi badan menghadap ke arah danau. Danau ini berwarna hitam pekat. Sedangkan danau di sebelah kiri dan berwarna hijau tosca adalah Tiwu Nuwa Muri Koo Fai.
Dua danau ini terletak berdampingan, hanya dipisahkan dengan sebuah tebing sebagai tembok pemisahnya. Tebing bebatuan pemisah itu berbentuk cekungan. Sejauh mata memandang, di sekeliling danau hanya ada tebing-tebing bebatuan.
4. “Tiwu Ata Mbupu”, pusat berkumpulnya para arwah
Puas memandangi dan berfoto dengan dua danau yang berdekatan itu, saya mulai menyiapkan tenaga dan nafas.
Itu karena harus menaiki ratusan anak tangga yang terbuat dari semen untuk sampai ke puncak kelimutu.
Salah satu objek yang ada di puncak Kelimutu adalah “Tiwu Ata Mbupu”. Danau yang berwarna hijau tosca bening ini letaknya terpisah dengan yang lain. Danau ini adalah danau berkumpulnya arwah para orang tua yang sudah meninggal.
Penentuan kategori konon katanya dilihat dari perbuatan semasa hidupnya. Jika orang meninggal dalam keadaan sudah tua dan sering berbuat baik semasa hidup, akan masuk ke danau “Tiwu Ata Mbupu”. Jika orang meninggal dalam keadaan masih muda atau belum menikah dan sering berbuat baik semasa hidup, akan masuk ke danau “Tiwu Nuwa Muri Koo Fai”.
Sedangkan jika orang meninggal baik dalam keadaan muda atau tua namun sering berbuat tercela, maka akan berkumpul di danau “Tiwu Ata Polo”.
5. Melemaskan otot di tugu pelepas lelah
Perjalanan menuju puncak kelimutu sangat melelahkan. Selain jalurnya yang cukup curam, udara di perjalanan menuju puncak semakin menipis karena ketinggiannya.
Nafas ngos-ngosan dan kaki saya mulai pegal. Untuk melepas lelah saya beristirahat sejenak di tugu puncak kelimutu.
Bisa dibilang setelah melihat danau yang ketiga, tugu yang dikelilingi beberapa anak tangga ini adalah tujuan selanjutnya. Selain bisa duduk bercengkerama di anak tangga tersebut, mengabadikan foto, menikmati secangkir kopi hangat, sebuah sajian sempurna dari sang alam.
Akhirnya saya berhasil mencapai puncak kurang lebih pukul 05.13 WITA. Sembari duduk, saya menunggu momen indah munculnya sang surya.
Bahasa orang timur mengatakan “sunrise di kelimutu gagah memang”.
Pada hari itu selama kurang lebih 3 menit sang surya perlahan muncul. Para wisatawan yang sudah siap beberapa saat yang lalu di tugu kelimutu tak henti-hentinya mengabadikan momen ini. Kala itu matahari muncul dari sela-sela bukit yang berjajar. Ini adalah matahari terbit terindah yang pernah saya lihat semasa hidup saya!
7. Mitos Perubahan Warna Danau Kelimutu
Danau kelimutu juga dikenal sebagai danau tiga warna. Selain karena tiap danau memiliki warna yang berbeda, tetapi juga ketiga danau tersebut bisa berubah warna setiap saat.
Ada pakar yang mengatakan hal itu terjadi karena komposisi material yang ada di dasar danau.
Namun adapula yang menyebutkan bahwa perubahan warna itu mengikuti suasana politik negara kita. Konon katanya jika negara Indonesia sedang damai dan tenteram maka warna danau akan biru. Jika suasana politik sedang bergejolak atau memanas warna danau akan berubah menjadi merah.
8. “Pati Ka”, Festival Memberi Makan Leluhur
Saya sengaja mengunjungi danau ini tepat tanggal 14 Agustus. Pada tanggal ini tiap tahunnya diadakan Festival Danau Kelimutu.
Sesuai kepercayaan penduduk setempat agenda utama dari festival itu adalah “pati ka”. Dalam bahasa setempat “pati ka” berarti memberi makan.
Pemberian makan ditujukan untuk para leluhur danau kelimutu berupa sesaji terdiri dari daging babi atau dalam bahasa setempat disebut “wawi” dan moke atau minuman beralkohol khas daerah setempat.
Prosesi “pati ka” dilaksanakan di lapangan helipad yang berada sebelum tugu puncak kelimutu. Prosesi diawali dengan tarian adat yaitu “tari gawi” yang dipimpin oleh ketua adat setempat, lalu dilanjutkan prosesi peletakan sesaji untuk leluhur.
Sayang sekali, saya tak bisa mengabadikan foto momen ini, karena yang tidak berkepentingan dilarang memasuki area prosesi.
9. Meleburnya budaya barat dan adat ketimuran
Acara festival danau kelimutu diakhiri dengan penyerahan tropi dan hadiah untuk pemenang lomba penjelajahan dan ramah tamah. Kami semua berdansa dan yang terbaik dari semua ini adalah, makan gratis!
Konsep ramah tamah merupakan perpaduan budaya dari Mancanegara-Indonesia. Berdansa bersama mengikuti budaya mancanegara, sedangkan acara lesehan mengikuti budaya Indonesia.
Suasananya begitu ramai. Orang tua, muda, pendek, tinggi semua ada di tempat ini. Suasana keramahan dan kekeluargaan saya rasakan di sini. Kenal atau tak kenal tidak bisa dibedakan karena semua saling sapa dan senyum ketika bertatapan muka.
Tidak hanya wisatawan domestik, wisatawan asing pun sangat antusias mengikuti festival ini. Bahkan saya sempat bertemu dengan wisatawan asing yang memakai baju adat daerah setempat berupa sarung dan atasan “Lawo Lambu” seperti layaknya orang asli Ende Lio mengikuti festival ini.
Sumber : PHINEMO
Baca Juga :
Komentar
Posting Komentar